Senin, 11 Oktober 2010

Persaudaraan adalah Kekuatan


KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Aktivitas perdagangan di Pasar Poso terus mengg eliat. Bersatunya pedagang Muslim dan Kristen di Pasar Poso pasca konflik agama mengakibatkan harga mulai stabil.

Oleh Ester Lince Napitupulu

Kekerasan tak lagi ingin diberi tempat di bumi Poso. Konflik berlatar belakang agama yang meluluhlantakkan persaudaraan warga Muslim-Kristen tak lagi diungkit-ungkit. Yang diinginkan hanyalah harmoni yang kini telah terajut abadi.

Jejak-jejak kerusuhan di sejumlah tempat di Poso, Sulawesi Tengah, yang terjadi mulai pengujung 1998 hingga 2006 itu hampir tak lagi berbekas dalam keseharian warga. Memang masih ada sisa-sisa bangunan rumah ibadah dan rumah penduduk yang hancur akibat kerusuhan, tetapi itu dianggap sebagai masa lalu yang harus ditutup.

Harmoni yang telah kembali itu sungguh terasa bermakna. Komunitas Kristen dan Muslim pada akhirnya sadar bahwa mereka bersaudara. Kekerabatan yang membuat mereka menikmati lese tuwu mombepomawa alias damai itu indah tak seharusnya tercabik-cabik.

”Dalam satu keluarga di sini ada yang Islam, ada yang Kristen. Kami jadi satu keluarga karena perkawinan. Jadi, untuk apa baku berkelahi,” ujar Bujalino, Sekretaris Desa Sangira, Kecamatan Tentena, Poso.

Bahkan, Bujalino dengan semangat mengabarkan kepada warga di Sangira bahwa ada seorang Muslim di Tanah Runtuh yang membantu warga Sangira. Warga yang sakit jantung itu akhirnya mendapat pengobatan gratis di satu rumah sakit.

”Ini menunjukkan silaturahim masyarakat sudah luar biasa. Masyarakat pada akhirnya menyadari konflik itu tidak bermanfaat,” ujar Bujalino.

Warga lainnya, Merlan Pondete, mengatakan bahwa jika masyarakat tidak berpikir jauh ke depan, anak-anak yang justru jadi korban. Masa depan anak- anak akan hancur.

Merlan ingat betul, pada tahun 2004, atas inisiatif teman- teman Kristen dan Muslim yang sedih dengan konflik yang memecah belah mereka, difasilitasilah silaturahim. Warga Muslim datang ke Desa Sangira yang mayoritas Kristen saat acara padungku atau pesta syukur seusai panen.

Gereja mengumumkan untuk menyambut saudara mereka tersebut. Bahkan, warga diminta menyajikan makanan yang netral supaya tidak menimbulkan prasangka. ”Pertemuan itu sangat indah dan mengharukan,” kenang Merlan.

Mereka menggelar pertandingan sepak bola persahabatan. Kalung bertuliskan lese tuwu mombepomawa, yang maknanya damai itu indah, pun dibagikan. ”Kalau kita hanya berpikir hari ini, ya kita tamat. Kami melakukan itu karena ingat masa depan anak-anak,” kata Merlan yang aktif dalam pelayanan anak di Wahana Visi Indonesia Poso yang berpusat di Tentena.

Di Tentena, mayoritas penduduknya Kristen. Namun, suara azan dari Masjid Jami Baitullah di Kelurahan Sangele, yang sempat terhenti sejak konflik pecah karena warga Muslim meninggalkan desa ini, telah kembali mewarnai keseharian umat Kristiani di daerah itu.

Ruwaidah, aktivis perdamaian dari institusi perempuan Aisyah Kabupaten Poso, bahkan tak sungkan datang ke Tentena. Pada bulan Ramadhan lalu, dia menggelar safari Ramadhan, mengajak siswanya mengunjungi saudara-saudara Kristen.

Sebaliknya, Ester, guru Agama Kristen di SD Negeri 07 Poso Kota, kini tak lagi cemas berada di komunitas yang mayoritas Muslim. Kepala SD tempat ia mengajar, Ani Dako, yang beragama Muslim, mengajak semua guru harus menampilkan contoh persaudaraan tanpa memandang perbedaan agama di hadapan para siswa mereka.

Inisiatif kalangan akar rumput masyarakat Poso untuk memperkuat silaturahim begitu kuat. Ketika ada peluang untuk bisa bersatu, baik dalam acara keagamaan, seni budaya, maupun olahraga, akan dioptimalkan.

Tangkal hasutan

”Ada tingkat kesadaran masif di masyarakat. Mereka menemukan sistemnya sendiri untuk berdamai lewat jaringan kekerabatan di Poso dan Tentena,” kata Lian Gogali dari lembaga masyarakat Mosintuwu.

Karena itu, kekerasan tidak lagi bermakna. Justru kekerabatan adalah kekuatan yang menyatukan. Ketika Poso kembali dilanda isu kerusuhan menjelang Lebaran lalu, masyarakat berhasil menangkalnya. Pesan singkat yang berisi hasutan tak lagi mempan.

Lian mengisahkan, masyarakat menemukan cara untuk tidak terpancing hasutan. Pesan singkat via telepon seluler yang isinya bernada hasutan dilawan dengan pesan kewaspadaan.

Komunikasi juga terjalin di antara mantan pelaku kerusuhan di masa lalu, baik dari kelompok Muslim maupun Kristen, untuk memastikan benar- tidaknya berita bakal terjadi penyerangan. ”Yang sibuk itu justru di tingkat elite. Masyarakat tenang-tenang saja,” ujar Lian.

Bupati Poso Piet Inkiriwang mengatakan, Poso sudah kondusif meskipun kewaspadaan masyarakat, pemerintah, dan aparat tetap harus kuat. ”Ini jadi modal untuk kembali membangun Poso guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata Piet.

Apalagi, pascakonflik masih menyisakan sejumlah persoalan. Bahkan, potensi konflik pun tetap ada, terutama apabila hak-hak dasar mereka belum terpenuhi. Namun, bagi masyarakat Poso, tidak ada lagi tawar- menawar untuk menukar harmoni yang telah kembali....

0 komentar:

Posting Komentar