Sabtu, 07 Mei 2011

Survei: 78% Rakyat Tolak Studi Banding DPR

Padangnews.com-– Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi mengemukakan, hobi studi banding para anggota DPR selama ini adalah upaya membodohi rakyat Indonesia. Dia pun menyebut, agenda rutin tersebut hanyalah kedok untuk memuaskan nafsu plesiran mereka saja.

“Dari sekian banyak studi banding, hanya 20 persen yang perlu, 80 persennya mubazir,” kata Burhan kepada VIVAnews.com, di Jakarta, 5 Mei 2011.

Menurutnya, studi banding yang dilakukan selama ini tidak tepat baik dari segi waktu atau pun tempat. Burhan mencontohkan, pemilihan Australia sebagai tempat studi masalah fakir miskin tidak mempunyai dasar yang kuat. Apalagi waktu yang dipilih adalah di saat parlemen Australia sedang reses. Hal tersebut membuat mereka akhirnya melakukan studi di kota yang sering didatangi oleh turis untuk berwisata, seperti Sydney dan Melbourne.

“Padahal, seharusnya mereka mengunjungi kota Darwin yang masih banyak ditinggali suku Aborigin yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Burhan yang menyelesaikan master ilmu politik di Australian National University itu.

Berdasarkan survei yang ia lakukan bersama LSI tahun 2011 ini, sebanyak 78 persen masyarakat menolak studi banding meskipun dengan alasan untuk peningkatan kinerja. Burhan mengungkapkan, selama ini, anggota DPR lebih sibuk bicara pemenuhan hak mereka dari pada kewajibannya.

“Seperti pembangunan kompleks rumah DPR, gedung baru, atau laptop. Semua dengan dalih peningkatan kinerja,” katanya.

Burhan pun lantas mengungkapkan sederet ketidakefektifan kinerja politisi Senayan tersebut. Pertama, pada tahun 2010, DPR gagal memenuhi tugas legislasi. Dari 170 UU yang ditargetkan, mereka hanya mampu mengundangkan sebanyak 17 UU atau 10%. Kedua, dari sisi bujeting, dana sebesar Rp1,1 triliun dari APBN Perubahan tahun 2010 tidak jelas peruntukannya.

Ketiga, dari sisi pengawasan, banyak fungsi pengawasan yang hanya digunakan sebagai bargaining politik, alat tawar menawar, seperti kasus Bank Century yang sampai sekarang tidak jelas. Keempat, dari sisi partisipasi sidang, mereka sangat rendah, baik dalam sidang komisi ataupun paripurna.

“Kinerja mereka tidak berhasil diwujudkan, itu kaya menghina rakyat, akal-akalan mereka saja untuk menutupi nafsu plesiran,” ujar Burhan. “Masyarakat punya kepentingan agar anggota DPR bisa meningkatkan kepercayaan di mata masyarakat. Kalau terus melakukan studi banding, kemana masyarakat akan mempercayakan pengawasan kepada pemerintah?” katanya.

Insiden E-mail


Apalagi, insiden email, komisi8@yahoo.com, yang terjadi saat anggota komisi VIII DPR RI beraudiensi dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) juga membuktikan bahwa para anggota dewan tersebut telah gagal beradaptasi dengan kehidupan modern.

“Itu bukti kalau anggota DPR gaptek, mereka gagal beradaptasi dengan teknologi,” ungkap Burhan.

Menurutnya, ranah kerja dewan yang dituntut untuk lebih banyak berkomunikasi dengan rakyat seharusnya membuat mereka wajib menguasai fasilitas jejaring sosial seperti Twitter, Facebook dan e-mail. Bila mereka memilikinya, tugas-tugas perwakilan akan jauh lebih mudah. “Teknologi sekarang menawarkan hal tersebut,” ujarnya.

Burhan melihat, email adalah salah satu elemen dasar dalam dunia komunikasi jejaring sosial. “Ketika mereka gagal dengan pola komunikasi baru itu, membuat masyarakat semakin mencibir,” katanya. (eh)

0 komentar:

Posting Komentar