Rabu, 06 April 2011

Surat Pembaca ”Tulisan Plagiat Zennis Helen”

Setelah menelaah dan membandingkan secara seksama, kami berkesimpulan bahwa tulisan Zennis Helen (Staf Pengajar di STIH YAPPAS Lubuk Sikaping, dan Peneliti di Yayasan Bina Mulia (YABIM) Pasaman) berjudul “Relasi Ideal Presiden-Parlemen” yang dimuat di website harian Padang Today (Link: http://www.padang-today.com/?mod=artikel&today=detil&id=47 ) pada hari sabtu tanggal 15 November 2008 adalah jiplakan (plagiat) dari tulisan Denny Indrayana di harian kompas tanggal 20 Februari 2006 yang berjudul “Presiden dan DPR, Sekutu atau Seteru” (Link: http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5483&coid=3&caid=3&gid=2 ).

Tulisan plagiat tersebut sangat mudah kami lacak karena nyaris seluruh kalimat, sub judul, hingga titik koma tulisan sama persis dengan tulisan Denny Indrayana. Untuk menyamarkan orisinalitas tulisan, Zennis Helen sengaja mengutip nama Denny Indrayana di salah satu paragraf agar seolah benar-benar mengutip dan mengaburkan muatan tulisan di paragraf lain agar seolah asli buah pikirannya.

Sewaktu kami konfirmasi melalui telpon, Zennis Helen masih saja berkelit dan membantah keras dengan mengatakan tidak pernah melakukan plagiasi. Bantahan tersebut mendorong kami untuk makin mencaritahu rekam jejak penulisan yang bersangkutan. Akhirnya, kami kembali menemukan tulisan Zennis Helen berjudul “Seandainya SBY-JK Terpilih Kembali” yang dimuat di website harian Padang Today (Link: http://padang-today.com/?mod=artikel&today=detil&id=202 ) pada hari sabtu tanggal 5 Februari 2009 adalah jiplakan (plagiat) dari tulisan Toto Sugiarto di harian Kompas tanggal 7 Januari 2009 yang berjudul “Tahun 2009, Politik Tidak Linier” (http://cetak.kompas.com/read/2009/01/07/ 00421924/tahun.2009.politik.tidak.linier ).

Kami tidak tahu apakah ada tulisan lain yang diplagiat oleh Zennis Helen. Bagi kami dua contoh plagiasi di atas saja sudah sangat disesalkan. Terlebih dalam kapasitas Zennis Helen sebagai akademisi di sebuah perguruan tinggi yang selayaknya menjaga integritas, kredibilitas dan menjadi teladan bagi anak didik. Bagi kami, plagiasi bukan semata hanya pelanggaran teknis dan kode etik penulisan karya ilmiah, tetapi sebuah “kejahatan intelektual” yang seharusnya tidak mendapatkan ruang toleransi sedikitpun.

Salam hormat,

Zamrony

Asisten Staf Khusus Presiden

Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN

Gedung Bina Graha, Sekretariat Negara

Jl. Veteran 16 Jakarta Pusat 10000

LAMPIRAN I (Tulisan hasil plagiat)

Relasi Ideal Presiden-Parlemen
Artikel Politik Sabtu, 15/11/2008 - 16:02 WIB

Oleh : Zennis Helen 336 klik

Amien Rais mengatakan dalam suatu kesempatan bahwa DPR cenderung kembali menjadi stempel pemerintah (Kompas, 20/2/08). Kerisauan Amien Rais agaknya bermula dari kurangnya kritisnya DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah dalam beberapa isu strategis semacam kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, yang dampaknya masih dirasakan sampai hari ini.

Di satu sisi, penulis mengamini pernyataan Amien Rais meski di sisi lain penulis juga mempertanyakan mengapa Partai Amanat Nasional, yang sedikit banyaknya berada di bawah bayang-bayang Amien Rais, ikut-ikutan menjadi stempel dari berbagai kebijakan pemerintah. Dan seperti apakah relasi ideal PresidenParlemen yang ideal dalam politik ketatanegaraan kita?. Satu pertanyaan terasa kian penting untuk dijawab, ditengah upaya reformasi ketatanegaraan secara komprehensif.

Relasi Presiden-Parlemen

Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap menghadirkan potret relasi presiden dengan parlemen. Di masa Presiden Soeharto, hubungan presiden-DPR amatlah kolutif. Presiden seakan atasan langsung DPR. Apa pun kebijakan Soeharto akan disambut paduan suara yes man di DPR dam MPR. Akibatnya, soeharto bertahan hingga lebih dari 31 tahun.

Pada esktrem lain, di masa Presiden Abdurrahman Wahid, relasi presidenparlemen amatlah konfrontatif. Presiden Wahid gagal membangun hubungan yang solid di DPR. Sebaliknya, ia terus berkonflik dengan parlemen. Akibatnya, masa kepresidenan Wahid hanya satu setengah tahun.

Baik hubungan yang kolutif maupun konfrontatif sama-sama bukan relasi ideal antara prseiden-parlemen. Keduanya seharusnya membangun hubungan yang saling control dan saling imbang (cheks and balances), yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-sama mendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetap membuka pintu bagi perbedaan pendapat dan ruang untuk saling mengingatkan.

Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Sebagai Presiden minoritas (minority presiden), SBY yang hanya didukung tujuh persen suara di DPR cukup berhasil mengelola irama konfliknya dengan DPR.

Memang dala isu makro politik, DPR terlihat knock out di hajar serangan beruntun sang presiden. Namun, dibandingkan masa presiden Soeharto, tidak sedikit perbedaan pendapat yang berani dilontarkan oleh anggota DPR, khususnya dalam masalah mikro politik.

Namun, kekritisan pada isu mikro itu, misalnya dalam penyusunan pasal undang-undang, dan kritisnya pertanyaan-pertanyaan dalam dengar pendapat dengan pemerintah, cenderung tenggelam secara perlahan setelah pemberitaan media masa, terutama dalam isu-isu populis, DPR sering pasrah kepada kebijakan Presiden.

Kepasrahan itu karena koalisi yang di bangun SBY lebih solid dibandingkan dengan poros tengah yang sempat mendukung Wahid. Pada hal, Presiden Wahid mempunyai modal awal lebih besar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki 11 persen kursi DPR. Walaupun, dalam beberapa kebijakan tertentu, misalnya kenaikan harga minyak, Presiden takhluk juga dihujani kritik pedas oleh DPR.

Gaya kepemimpinan SBY yang lebih akomodatif, dibandingkan dengan Wahid yang lebih destruktif, menyebabkan hasil akhir relasi Presiden dan parlemen berbeda meski keduanya sama-sama presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem ketatanegaraan kita masih kental diwarnai gaya personal sang pemimpin.

Menurut Denny Indrayana (Kompas, 20/2/06) sistem ketatanegaraan yang personal sebaiknya dihindari. Kedepan sistem politik kita harus lebih bersandar kepada sistem yang demokratis, bukan kepada orang . itu berarti diperlukan rekayasa konstitusi untuk membangun hubungan Presiden -parlemen yang lebih konstruktif dan dinamis. Sistem yang demikian bisa dibangun dengan mengadopsi beberapa sistem ketatanegaraan.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian. Ke depan sistem multi partai harus didorong untuk lebih ramping. Persyaratan electoral threshold bai suatu partai untuk dapat mengikuti pemilu adalah kebijakan yang tepat yang sudah diadopsi undang-undang pemilu.

Gejalah untuk menggunakan jalan keluar lewat penyederhanaan sistem kepartaian ini telah nampak, ketika pengesahan Undangundang pemilihan Presiden yang terkait mengenai besarnya persentase dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persentase perolehan kursi paling sedikit 20 persen kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR-RI (Singgalang, 30/10/08). Kalaulah di DPR itu ada 560 kursi maka partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sebanyak 112 kursi baru dapat tiket bagi partainya untuk mencalon diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Menurut Ketua Pansus RUU Pilpres Ferry Mursyidan Baldan adalah besarnya persentase dukungan ini lebih dimaksudkan untuk menciptkan sebuah pemerintahan presidensil yang kuat dan efektif. Tujuannya adalah untuk bisa mencapai sebuah penyelenggaraan pemerintahan negara yang optimal dalam dalam melakukan berbagai tugas kenegaraan dan pemerintahan.

Dan yang lebih penting lagi adalah agar supaya presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi dari rakyat secara langsung namun juga memeliki basis dukungan yang kuat di DPR sebagai mitra dalam menyelenggarakan pemerintahan secara keseluruhan melalui berbagai perumusan kebijakan.

Sistem multipartai yang sederhana akan lebih memungkinkan hadirnya relasi presiden -parlemen yang konstruktif. Sistem multi partai yang kompleks cenderung tidak cocok demngan sistem pemerintahan presidensial dan cenderung menghadirkan presiden sial senasib presiden Gus Dur. Sebaliknya, sistem satu partai yang terlalu dominan, sebagaimana Golkar di masa Orde Baru, melahirkan Presiden yang otoriter.

Kedua, koalisi yang dibangun dalam sistem pemerintahan harus didorong menjadi koalisi pas terbatas (minimal winning coalition), bukan kolaisi yang kebesaran (oversized coalition) atau koalisi kekecilan (undesized coalition). Koalisi yang kekecilan akan memunculkan presiden yang sial, sedangkan koalisi yang kebesaran berpotensi menciptakan presiden yang "sialan". Sedangkan koalisi pas terbatas adalah koalisi yang dibangun dengan maksud menciptakan pemerintahan yang solid tetap memberikan ruang kepada oposisi yang juga bergigi.

Jika di DPR kini ada 550 kursi, berarti koalisi pas terbatas akan menguasai sekitar 300 kursi dan menyisakan 250 kursi partai lain sebagai oposisi guna mengingatkan presiden agar tidak salah dalam melangkah.

Kedodoran

Sayang, koalisi pemerintahan sekarang dengan masuknya orang-orang partai demokrat. Golkar, PAN, PBB, PPP, PKS, bahkan PKB dalam kabinet menyebabkan SBY menciptakan koalisi kedodoran. Itulah mengapa DPR dalam isu-isu strategis menjadi sering kehilangan daya tenaga karena mayoritas mutlak partai sudah dirangkul presiden.

Untuk menghindari presiden terlalu leluasa membangun koalisi yang hanya membagi kekuasaan semata, perlu terus di dorong lahirnya undang-undang kementrian negara yang di dalamnya mengatur departemen apa yang sewajibnya ada atau tiada.

Dengan demikian pembentukan kabinet tidak selalu menjadi komoditas dagangan presiden untuk menarik dukungan politik dari partai-partai yang tidak jarang memang hanya mengejar kursi elit kementrian semata. Tapi yang jelas adalah apa pun relasi presiden dengan parlemen, sekutu atau seteru yang tetap harus ada ialah rakyat yang terus mengntrol tingkah laku keduanya. Bagaimanapun republik ini milik kita, bukan milik presiden atau segelintir elit di Senayan.

*** Penulis adalah: Staf pengajar di STIH YAPPAS Lubuk Sikaping, dan Peneliti di Yayasan Bina Mulia (YABIM) Pasaman.

LAMPIRAN II (tulisan Denny Indrayana yang diplagiat)

Presiden dan DPR, Sekutu atau Seteru?
Oleh: Denny Indrayana

--------------------------------------------------------------------------------

Amien Rais mengatakan, DPR cenderung kembali menjadi stempel pemerintah. Kerisauan Amien Rais agaknya bermula dari kurang kritisnya DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah dalam beberapa isu strategis semacam kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras.

Di satu sisi, saya relatif mengamini pernyataan Amien Rais meski di sisi lain saya juga mempertanyakan mengapa Partai Amanat Nasional, yang sedikit banyak masih berada di bawah bayang-bayang Amien Rais, ikut- ikutan menjadi stempel dari berbagai kebijakan pemerintah.

Relasi presiden-parlemen

Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap menghadirkan potret relasi presiden dengan parlemen. Di masa Presiden Soeharto, hubungan presiden-DPR amatlah kolutif. Presiden seakan atasan langsung DPR. Apa pun kebijakan Soeharto akan disambut paduan suara yes man di DPR dan MPR. Akibatnya, Soeharto bertahan hingga lebih dari 32 tahun.

Pada ekstrem lain, di masa Presiden Abdurrahman Wahid, relasi presiden-parlemen amat konfrontatif. Presiden Wahid gagal membangun dukungan yang solid di DPR. Sebaliknya, ia terus berkonflik dengan parlemen. Akibatnya, masa kepresidenan Wahid hanya satu setengah tahun.

Baik hubungan yang kolutif maupun konstruktif sama-sama bukan relasi ideal antara presiden dan parlemen. Keduanya seharusnya membangun hubungan yang saling kontrol dan saling imbang (checks and balances), yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-sama mendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetap membuka pintu bagi perbedaan pendapat dan ruang untuk saling mengingatkan.

Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai presiden minoritas (minority president), SBY yang hanya didukung modal awal tujuh persen suara di DPR cukup berhasil mengelola irama konfliknya dengan DPR.

Memang dalam isu makropolitik, DPR terlihat knock out dihajar serangan beruntun sang presiden. Namun, dibandingkan masa Presiden Soeharto, tidak sedikit perbedaan pendapat yang berani dilontarkan oleh anggota DPR, khususnya dalam masalah mikropolitik. Namun, kekritisan pada isu-isu mikro itu, misalnya dalam penyusunan pasal undang- undang, dan kritisnya pertanyaan-pertanyaan dalam dengar pendapat dengan pemerintah, cenderung tenggelam secara berlahan setelah pemberitaan media masa, terutama karena dalam isu-isu populis, DPR sering pasrah kepada kebijakan Presiden.

Kepasrahan itu karena koalisi yang dibangun SBY lebih solid dibandingkan dengan Poros Tengah yang sempat mendukung Wahid. Padahal, Presiden Wahid mempunyai modal awal lebih besar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki 11 persen kursi DPR.

Gaya kepemimpinan SBY yang lebih akomodatif, dibandingkan dengan Wahid yang lebih destruktif, menyebabkan hasil akhir relasi presiden dan parlemen menjadi berbeda meski keduanya sama-sama presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem ketatanegaraan kita masih kental diwarnai gaya personal sang pemimpin.

Sistem ketatanegaraan yang personal itu sebaiknya dihindari. Ke depan sistem politik kita harus lebih bersandar kepada sistem yang demokratis, bukan kepada orang. Itu berarti diperlukan rekayasa konstitusi (constitutional engineering) untuk membangun hubungan presiden dan parlemen yang lebih konstruktif dan dinamis. Sistem demikian bisa dibangun dengan mengadopsi beberapa sistem ketatanegaraan.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian. Ke depan sistem multipartai harus didorong untuk lebih ramping. Persyaratan electoral threshold bagi suatu partai untuk dapat mengikuti pemilu adalah kebijakan tepat yang sudah diadopsi undang-undang pemilu.

Sistem multipartai yang sederhana akan lebih memungkinkan hadirnya relasi presiden parlemen yang konstruktif. Sistem multipartai yang kompleks cenderung tidak cocok dengan sistem pemerintahan presidensial dan cenderung menghadirkan ”presiden sial” senasib Presiden Gus Dur. Sebaliknya, sistem satu partai yang terlalu dominan, sebagaimana Golkar di masa Orde Baru, melahirkan presiden yang otoriter.

Kedua, koalisi yang dibangun dalam sistem pemerintahan harus didorong menjadi koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), bukan koalisi yang kebesaran (oversized coalition) atau koalisi kekecilan (undersized coalition). Koalisi yang kekecilan akan memunculkan presiden yang sial, sedangkan koalisi yang kebesaran berpotensi menciptakan presiden yang ”sialan”. Sedangkan koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang dibangun dengan maksud menciptakan pemerintahan yang solid tetapi tetap memberikan ruang kepada oposisi yang juga bergigi.

Jika di DPR kini ada 550 kursi, berarti koalisi pas-terbatas akan menguasai sekitar 300 kursi dan menyisakan 250 kursi partai lain sebagai oposisi guna mengingatkan presiden agar tidak salah melangkah.

Kedodoran

Sayang, koalisi pemerintahan sekarang dengan masuknya orang-orang Partai Demokrat, Golkar, PBB, PAN, PPP, PKS, bahkan PKB dalam kabinet menyebabkan SBY menciptakan koalisi kedodoran. Itulah mengapa DPR dalam isu-isu strategis menjadi sering kehilangan daya tenaga karena mayoritas mutlak partai sudah dirangkul presiden.

Untuk menghindari presiden terlalu leluasa membangun koalisi yang hanya membagi kekuasaan semata, perlu terus didorong lahirnya Undang-Undang Kementerian Negara yang di dalamnya mengatur departemen apa yang sewajibnya ada atau tiada.

Dengan demikian, pembentukan kabinet tidak selalu menjadi komoditas dagangan presiden untuk menarik dukungan politik dari partai-partai yang tidak jarang memang hanya mengejar kursi elite kementerian semata.

Apa pun relasi presiden dengan parlemen, sekutu ataukah seteru, yang tetap harus ada ialah rakyat yang terus mengontrol tingkah laku keduanya. Bagaimanapun republik ini adalah milik kita, bukan milik presiden atau segelintir elite di Senayan.

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0602/20/opini/2447798.htm

Denny Indrayana
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM; Direktur Indonesian Court Monitoring

LAMPIRAN III (tulisan hasil plagiat)

Seandainya SBY-JK Terpilih Kembali
Artikel Politik Kamis, 05/02/2009 - 09:11 WIB

Oleh : Zennis Helen, SH 232 klik

Menimbang SBY-JK terpilih kembali dalam kontes presidensial tahun 2009 memang agak terlalu dini diketengahkan ke hadapan publik. Karena pertarungan Pilpres masih lama dan akan dilaksanakan kira-kira di bulan Juli, dilaksanakan setelah Pemilu legislatif selesai. Menurut jadwal yang disusun oleh KPU Pemilu Legilatif dilaksanakan pada bulan April 2009. Menurut penulis, secara analisis politik sederhana, tidak ada salahnya kita mencoba mengkalkulasikan secara hitungan politik, kemungkinan SBY-JK terpilih kembali dalam pemilu presidensial yang akan datang. Pada tahun 2009 politik tidak linear. Artinya, konstelasi politik akan bersifat dinamis dan selalu berubah-rubah dan perubahannya akan cepat sekali.

Gerakan yang dilakukan oleh beberapa partai besar untuk mendukung kembali duet SBY-JK untuk terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 telah muncul ke permukaan. Buktinya, bakal embrio koalisi mulai terlihat. Empat partai politik besar, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PKB terlihat menjajaki kemungkinan "penyatuan kekuatan". Tujuannya, menyukseskan terpilihnya kembali SBY-JK. Tentu saja embrio tersebut masih terlalu rapuh untuk dilihat sebagai cikal bakal koalisi. Namun, setidaknya perkembangan tersebut mencerminkan kesadaran dari partai-partai akan adanya paksaan undang-undang yang mengharuskan mereka membentuk koalisi.

Jika mendasarkan perhitungan pada hasil Pemilu 2004, kekuatan gabungan keempat partai tersebut jauh melebihi batas minimum syarat dukungan gabungan partai yang ingin mengusung calon presiden. Bahkan, gabungan suara keempat partai tersebut pada Pemilu 2004 mencapai 48,2 persen. Dengan pertimbangan bahwa tiga dari empat partai tersebut, yaitu Golkar, PPP dan PKB memeliki pendukung tradisional yang captive, koalisi tersebut dapat dipastikan mampu meloloskan SBY-JK dari "lubang jarum ". Dengan demikian, langkah SBY-JK untuk kembali duduk di kursi kekuasaan tampaknya semakin terbuka lebar. Lantas, bagaimanakah konstelasi politik dapat dibaca? Bagaimana perkembangan perbandingan kekuatan-kekuatan politik menuju pemilihan presiden? Siapa yang bakal menjadi pesaing SBY-JK untuk Pilpres 2009?.

Oportunis

Konstelasi politik dapat dilihat sebagai tiga kelompok kekuatan, yaitu supporter, spoiler, dan free riders (Sukardi Rinakit). Supporter berhadapan dengan spoiler. Adapun free riders, pada saat dinamika politik telah memperlihatkan "endapan", akan merapat kepada kelompok pemenang. Teori tersebut dapat diterapkan pada konstelasi politik sekarang. Menurut Toto Sugiarto (Kompas, 7/1) yang dilihatnya dari perspektif SBY, terdapat tiga kelompok politik dalam Pilpres 2009. Pertama, Supporter, akar tunggang bagi kelompok ini adalah Partai Demokrat. Dengan asumsi tercapainya koalisi empat partai ini, berdasarkan hasil pemilu 2004, kekuatan supporter amat kuat.

Kedua, Spoiler. Dengan mempertimbangkan persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden, spoiler bisa terdiri dari satu atau dua kubu politik. Spoiler kubu pertama di Pilpres 2009 adalah PDI-P. Sebagai kekuatan politik oposisi, PDI-P berkepentingan mengalahkan SBY dan mendudukkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI 2009-2014. Berdasarkan persyaratan undang-undang, akan lebih aman bagi Megawati jika PDI-P melakukan langkah membangun koalisi sejak dini. Sedangkan, kubu kedua dalam spoiler hanya bisa terwujud jika koalisi yang dibangun baik oleh supporter atau oleh spoiler tidak terlalu besar. Dengan demikian, masih tersisa persentase yang mencukupi syarat minimal bagi pengajuan capres.

Ketiga, free riders adalah pihak yang meraup untung dari kontestasi di Pilpres 2009. Kelompok free riders ini bisa dikatakan kelompok oportunis. Mereka tidak mengambil sikap sampai tercapai kondisi mendekati titik ekuilibrium dinamika politik, yaitu pada saat dinamika politik telah menghasilkan "endapan". Kelompok ini biasanya bukan penentu kemenangan, melainkan hanya sebagai penambah kekuatan sang pemenang.

Bukan Jaminan

Jika politik bergerak linear, semesta politik tampak mulai berpihak pada kubu SBY-JK. Dengan kekuatan mendekati 50 persen suara pemilu 2004, akan banyak "laron politik" mendekat. SBY-JK akan semakin aman, sementara Megawati atau capres ketiga akan semakin terperosok dalam jebakan politik berbahaya. Namun, untuk masalah kemenangan. politik para era demokrasi tidak berjalan linear. Seandainya kelompok politik pendukung SBY-JK berhasil membesarkan dirinya sehingga menjadi kelompok politik dominan sekalipun, bukan jaminan bagi tetap tergenggamnya kekuasaan.Bahkan, jika koalisi supporter menjadi terlalu dominan akan muncul keserakahan dan rekayasa jahat menutup kesempatan bagi calon lain. Di titik ini, kekuatan koalisi akan berubah menjadi kelemahan.

Politik di era demokrasi adalah seperti permainan sepak bola, sebelum permainan berakhir, hasil akhir belum bisa dipastikan. Kemenangan bergantung bukan kepada besarnya koalisi , melainkan ditentukan oleh strategi memasukkan bola ke gawang, dalam hal ini ke dalam rasio pemilih . Perihal yang terakhir ini, sifatnya amat tidak linear.

Titik Pertemuan

Kemenangan dalam Pilpres 2009 lebih merupakan hasil dari terciptanya titik pertemuan antara kehendak baik calon presiden dan rasionalitas publik. Dengan kata lain, kehendak baik capres harus identik dan terbaca publik. Rasionalitas publik menghendaki terciptanya kebaikan umum, yaitu kebaikan bagi rakyat dan negara. Jika rasionalitas publik mengatakan bahwa capres tertentu benar-benar memeliki kehendak yang sama dengan dirinya, yaitu berkehendak untuk benar-benar memperjuangkan kebaikan umum, niscaya akan mendapat simpati dan dukungan.

Sebagai incumbent, SBY-JK memeliki keuntungan, baik itu dari segi popularitas maupun program-program yang telah terealisasi yang bersentuhan langsung dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pada sisa waktu yang tidak panjang, pemerintahan SBY cukup membuat kebijakan-kebijakan yang produktif bagi penciptaan kebaikan umum. Beberapa program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin dan untuk kebaikan umum, adalah PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan) yang berada dibawah naungan Dinas Pekerjaan Umum, PAMSIMAS yang merupakan program sanitasi/air bersih yang besifat lintas sektoral (Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri), P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan) yang berada dibawah naungan Dinas Pekerjaan Umum.

Ketika meresmikan beberapa proyek di daerah maka dapat dikemas pula dalam bentuk kampanye. Hal ini akan menambah popularitas dan simpati masyarakat pada SBY. Semua program diatas bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan derjat kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja merupakan tujuan utama program itu. Semua program ini mendapat respon yang positif dari masyarakat. Maka setelah itu, titik pertemuan pun dengan sendirinya akan tercipta.

Sementara bagi spoiler, upaya penciptaan titik pertemuan hanya bisa dilakukan dengan pembentukan opini. Mereka mengatakan "akan" meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden 20092014, sedangkan SBY-JK mengatakan "telah" berbuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut. Megawati atau capres alternatif lain harus bisa menawarkan janji politik yang bisa meyakinkan publik bahwa jika terpilih akan bekerja untuk penciptaan kebaikan umum, bukan demi kepentingan pribadi. Karena itu, janji politik harus detail dan terukur.

*Penulis adalah Dosen STIH YAPPAS dan Peneliti di Yayasan Bina Mulia (YABIM) Pasaman

Lampiran IV (Tulisan Toto Sugiarto yang diplagiat)

Tahun 2009, Politik Tidak Linier
Toto Sugiarto

Bakal embrio koalisi mulai terlihat. Empat partai politik, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, dan PKB terlihat menjajaki kemungkinan ”penyatuan kekuatan”. Tujuannya, menyukseskan terpilihnya kembali SBY-JK.

Tentu saja embrio tersebut masih terlalu rapuh untuk dilihat sebagai cikal bakal koalisi. Namun, setidaknya perkembangan tersebut mencerminkan kesadaran dari partai-partai akan adanya ”paksaan” undang-undang yang mengharuskan mereka membentuk koalisi.

Jika mendasarkan perhitungan pada hasil Pemilu 2004, kekuatan gabungan keempat partai tersebut jauh melebihi batas minimum syarat dukungan gabungan partai yang ingin mengusung calon presiden. Bahkan, gabungan suara keempat partai tersebut pada Pemilu 2004 mencapai 48,2 persen.

Dengan pertimbangan bahwa tiga dari empat partai tersebut, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PKB memiliki pendukung tradisional yang captive, koalisi tersebut dapat dipastikan mampu meloloskan SBY-JK dari ”lubang jarum”. Dengan demikian, langkah SBY-JK untuk kembali duduk di kursi kekuasaan tampaknya semakin terbuka lebar.

Lantas, bagaimanakah konstelasi politik dapat dibaca? Bagaimana perkembangan perbandingan kekuatan-kekuatan politik menuju pemilihan presiden? Siapa yang bakal menjadi pesaing SBY-JK untuk Pilpres 2009?

Oportunis

Konstelasi politik dapat dilihat sebagai tiga kelompok kekuatan, yaitu supporter, spoiler, dan free riders (Sukardi Rinakit). Supporter berhadapan dengan spoiler. Adapun free riders, pada saat dinamika politik telah memperlihatkan ”endapan”, akan merapat pada kelompok pemenang.

Teori tersebut dapat diterapkan pada konstelasi politik sekarang. Dilihat dari perspektif SBY, terdapat tiga kelompok politik dalam Pilpres 2009. Pertama, supporter. Akar tunggang bagi kelompok ini adalah Partai Demokrat. Dengan asumsi tercapainya koalisi empat partai, berdasarkan hasil Pemilu 2004, kekuatan supporter amat kuat.

Kedua, spoiler. Dengan mempertimbangkan persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden, spoiler bisa terdiri dari satu atau dua kubu politik. Spoiler kubu pertama di Pilpres 2009 adalah PDI-P. Sebagai kekuatan politik oposisi, PDI-P berkepentingan mengalahkan SBY dan mendudukkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI 2009-2014. Berdasarkan persyaratan undang-undang, akan lebih aman bagi Megawati jika PDI-P melakukan langkah membangun koalisi sejak dini.

Kubu kedua dalam spoiler hanya bisa terwujud jika koalisi yang dibangun baik oleh supporter atau oleh spoiler tidak terlalu besar. Dengan demikian, masih tersisa persentase yang mencukupi syarat minimal bagi pengajuan capres.

Ketiga, free riders adalah pihak yang akan meraup untung dari kontestasi di Pilpres 2009. Kelompok free riders ini bisa dikatakan sebagai kelompok oportunis. Mereka tidak mengambil sikap sampai tercapai kondisi mendekati titik ekuilibrium dinamika politik, yaitu pada saat dinamika politik telah menghasilkan ”endapan”. Kelompok ini biasanya bukan penentu kemenangan, melainkan hanya sebagai penambah kekuatan sang pemenang.

Bukan jaminan

Jika politik bergerak linier, semesta politik tampak mulai berpihak pada kubu SBY-JK. Dengan kekuatan mendekati 50 persen suara Pemilu 2004, akan banyak ”laron politik” mendekat. SBY-JK akan semakin ”aman”, sementara Megawati atau capres ketiga akan semakin terperosok dalam ”jebakan politik berbahaya”.

Namun, untuk masalah kemenangan, politik pada era demokrasi tidak berjalan linier. Seandainya kelompok politik pendukung SBY-JK berhasil membesarkan dirinya sehingga menjadi kelompok politik dominan sekalipun, bukan jaminan bagi tetap tergenggamnya kekuasaan. Bahkan, jika koalisi supporter menjadi terlalu dominan akan muncul kesan keserakahan dan rekayasa jahat menutup kesempatan bagi calon lain. Di titik ini, kekuatan koalisi akan berubah menjadi kelemahan.

Politik di era demokrasi adalah seperti permainan sepak bola, sebelum permainan berakhir, hasil akhir belum bisa dipastikan. Kemenangan bergantung bukan pada besarnya koalisi, melainkan ditentukan oleh strategi memasukkan bola ke gawang, dalam hal ini ke dalam rasio pemilih. Perihal yang terakhir ini, sifatnya amat tidak linier.

Titik pertemuan

Kemenangan dalam Pilpres 2009 lebih merupakan hasil dari terciptanya titik pertemuan antara kehendak baik calon presiden dan rasionalitas publik. Dengan kata lain, kehendak baik capres harus identik dan terbaca publik.

Rasionalitas publik menghendaki terciptanya kebaikan umum, yaitu kebaikan bagi rakyat dan negara. Jika rasionalitas publik mengatakan bahwa capres tertentu benar-benar memiliki kehendak yang sama dengan dirinya, yaitu berkehendak untuk benar-benar memperjuangkan kebaikan umum, niscaya akan mendapat simpati dan dukungan.

Sebagai incumbent, SBY-JK memiliki keuntungan. Pada sisa waktu yang tidak panjang, pemerintahan SBY cukup membuat kebijakan-kebijakan yang produktif bagi penciptaan kebaikan umum. Setelah itu, titik pertemuan pun dengan sendirinya akan tercipta.

Sementara bagi spoiler, upaya penciptaan titik pertemuan hanya bisa dilakukan dengan pembentukan opini. Megawati atau capres alternatif lain harus bisa menawarkan janji politik yang bisa meyakinkan publik bahwa jika terpilih akan bekerja untuk penciptaan kebaikan umum, bukan demi kepentingan pribadi. Karena itu, janji politik harus detail dan terukur.

Toto Sugiarto Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

courtesy: http://www.padangtoday.com

0 komentar:

Posting Komentar